Senin, 11 Februari 2008

RAWON SETAN

RAWON SETAN
Dinamakan "Rawon Setan" karena bukanya setelah larut malam. Paling cepat mereka buka pada pukul sepuluh malam. Kadang-kadang malahan menjelang tengah malam baru buka. Ketika setan-setan mulai bergentayangan, warung rawon itu baru buka.
Tentu saja, nama itu bukanlah nama resminya. Para sepuh Surabaya menyebutnya sebagai "Rawon NIROM", karena letaknya persis di depan pemancar NIROM (Nederlands-Indische Radio Omroep Maatschappij) yang kemudian berubah menjadi Radio Republik Indonesia. Gedungnya sekarang tidak ada lagi dan sudah menjadi Hotel JW Marriott.
Saya jadi teringat Pak Jusuf Ronodipuro, pembaca setia "Jalansutra" yang dulu menjadi "dedengkot" RRI sebelum menjadi duta besar di beberapa negara. Mungkin sekali beliau pernah makan "Rawon NIROM" ini. Maklum, warung tenda ini memang sudah ada di sana sejak zaman revolusi. Sekarang dilanjutkan oleh anak-anak dan menantu-menantunya.
Porsinya generous, padahal harganya cuma Rp 10 ribu. Potongan dagingnya besar-besar, dan sangat empuk. Dalam seporsi saya perkirakan dagingnya sekitar 150 gram, sama dengan ukuran steak yang queen cut. Herannya, "setan-setan" penggemarnya masih lagi menambah lauk empal, paru goreng, di samping telur asin.
Kalau Anda penggemar "Rawon Nguling" yang mulai terkenal gara-gara disinggahi bus Denpasar-Surabaya (terletak di Desa Nguling, Probolinggo), Anda bisa pergi ke Jalan Kutai. Tetapi, seorang pria Tionghoa lanjut usia yang pernah saya temui makan di Jalan Kutai itu mengatakan bahwa sebetulnya ia terpaksa makan di sana. Lho? "Nggak ada yang bisa ngalahin rawon dari ‘Depot Anda’ di Mojokerto," katanya. Menurut Yuniawan Nugroho, redaktur Suara Pembaruan, "Depot Anda" di Mojokerto itu juga terkenal sop buntutnya.
Makanan rakyat lain yang populer di Surabaya adalah nasi bebek. Cuma nasi putih dengan bebek goreng dan sambal. Yang paling legendaris bisa ditemukan di kawasan Perak Timur. Warung tenda "Cak Yudi", yang kabarnya melakukan potong bebek sampai 400 ekor setiap hari, terletak tidak jauh dari gapura Pelabuhan Perak, di tepi Jalan Jakarta. Buka setiap sore sekitar pukul setengah empat, dan sudah habis menjelang senja.
Kalau kehabisan di "Cak Yudi", kabarnya warung nasi bebek yang di sebelah Tugu Pahlawan (Jalan Tembaan, di halaman parkir BCA) adalah milik keponakannya. Rasanya memang gurih dan empuk, tanpa bau khas bebek yang memang agak menyengat. Ada juga nasi bebek terkenal lainnya, yaitu "Bebek HT" di Karang Empat, dekat Pasar Kapas Krampung.
Tetapi, kalau tidak mau repot, warung nasi bebek tersebar di segala penjuru Surabaya, dan sangat mudah dikenali dari gambar bebek pada tendanya. Masing-masing kampung tentulah punya versi nasi bebek kebanggaan masing-masing. Tidak seperti "Cak Yudi" atau "Tugu Pahlawan", kebanyakan warung nasi bebek yang berada di pinggir-pinggir jalan tidak "spesialis" bebek, alias juga menyediakan ikan dorang (bawal) goreng, ayam goreng, dan sebagainya.
"Hati-hati, Pak, kadang-kadang kebersihannya tidak terjamin. Sering masih ada bulunya," kata supir taksi mengingatkan. Aha, itu jadi mengingatkan saya pada sebuah "warung" di Seattle yang disebut anak saya dan teman-temannya sebagai "Duck Bulu". Murah, memang. Dengan dua dolar dapat nasi putih dengan sedikit bebek panggang. Tetapi, mungkin saking murahnya, kadang-kadang juga masih terlihat bulunya, sehingga anak saya terpaksa berhenti makan karena jijik. Saya sendiri menyebutnya dengan nickname Duck Boulognaise. Duck nyang ade bulunye! He he he …
Bicara tentang Surabaya – kota kelahiran saya – memang penuh nostalgia, sekalipun saya sebetulnya hanya sebentar tinggal di Kota Pahlawan itu. Salah satu tempat yang membangkitkan nostalgia di Surabaya adalah Ice Cream "Zangrandi" di Jalan Pemuda, di depan Hotel Garden Palace. Tempat ini mirip dengan "Ragusa" di Jalan Veteran I, Jakarta Pusat.
Saya janji cerita tentang kol nenek dan kupang lontong, kan? OK, ayo ke RM "Handayani" di Jalan Kertajaya, daerah Gubeng. "Handayani" punya cabang lain di Prapen di daerah Jemursari, tetapi lebih mengedepankan menu seafood. Di tempat asalnya di Gubeng, "Handayani" menekankan hidangan khas Jawa Timur.
Kol nenek (dibaca seperti kita memanggil istri kakek) adalah bekicot air (water snail) kecil. Panjangnya sekitar dua sentimeter. Bagian ujungnya dipatahkan agar dagingnya bisa diisap keluar. Orang Korea juga suka makan kol nenek ini sebagai appetizer. Bedanya, kol nenek dimasak dalam kuah petis pedas segar.
Kupang adalah semacam kerang atau remis kecil halus, sekitar 2-3 milimeter. Bentuknya mirip beras, karena itu disebut kupang beras (Corbula faba). Untuk mengeluarkan dagingnya, cukup dengan meremas-remas di antara dua tangan. Dagingnya yang halus dimasak dengan kuah petis dan dimakan dengan lontong. Ada yang bilang sekarang kupang mengandung merkuri dan logam berat melebihi batas ambang. Bahkan ada isu lain yang lebih kejam, yang membuat warung-warung kupang lontong (biasanya sekaligus jualan es kelapa muda) di sepanjang jalan Waru-Sidoarjo menjadi sepi pembeli. Padahal, kabarnya, justru air kelapa muda itulah penawar racun (toksin) yang bisa menyebabkan alergi. (Terima kasih atas info Irvan Karta dan Heroe Widodo, miliser Jalansutra).
Ada lagi masakan lontong yang populer di Surabaya, yaitu lontong balap. Ini makanan sederhana nan murah meriah. Irisan lontong ditaburi tauge (kecambah), irisan tahu goreng, dan irisan lentho (semacam perkedel atau bakwan dari singkong dan kacang merah), lalu disiram kuah petis encer. Sssuegerrr! Lauknya sate kerang.
Lurjuk adalah jenis kerang kecil yang lain, panjang dagingnya sekitar tiga sentimeter. Dalam bentuk goreng kering biasa dimakan untuk menemani minum bir. Lurjuk khas Surabaya ditumis (oseng-oseng) dengan bumbu petis.
Di "Handayani" jangan lupa pesan pecel ontong (jantung) pisang, tahu gunting, atau tahu campurnya yang khas. Rumah makan lain yang menyajikan hidangan khas Jawa Timur adalah "Ria Galeria" di Jalan Raya Gubeng.
Tentu saja Surabaya juga punya berbagai restoran masakan Tionghoa yang dapat dibanggakan. Beberapa restoran besar juga mempunyai ruang karaoke dan hiburan lainnya. Yang terkenal antara lain adalah "Oriental"(Taman Ade Irma Suryani Nasution), "Millennium" (Simpang Dukuh), "Kowloon Palace International" (Plaza Surabaya), "Double Happiness" (Jalan Kombespol M Duryat), "New San Thauw" (Jalan Raya Gubeng).
Saya ingin menceritakan satu rumah makan Tionghoa sederhana yang direkomendasikan oleh Meiliany, co-moderator milis Jalansutra. Namanya "Hainan" di Jalan Pahlawan 73. Tetapi, nama dan alamat ini sempat membingungkan saya. Ternyata, di Jalan Pahlawan 93 juga ada rumah makan dengan nama sama. Saya putuskan ke nomor 73 karena kelihatan tempatnya lebih tua. Tetapi, di kartu menunya tertulis "Haynan", bukan "Hainan". Wah, terpaksa harus diluruskan dulu.
Ternyata, semuanya benar dan asli. Yang nomor 73 adalah punya sang ayah. Nomor 93 dimiliki anak sulung. Bahkan ada lagi di Darmo Park, dikelola oleh sang istri. Hebat!
Menurut Mei, ia tak pernah melupakan kepiting masakan "Hainan". Saya pun memesan kepiting saus kare Singapura. Di menu terbaca berbagai cara lain untuk memasak kepiting: masak lada hitam, tim, asam manis, dan saus mentega.
Kepiting saus karenya memang betul sedap. Kental, tetapi tidak berlemak dan tidak terlalu pedas. Sayang, tak ada roti goreng (mantou) yang sebetulnya cocok untuk menyantap saus lezat itu. Tiram goreng telurnya pun enak. Demikian pula capcay saus merah (bisa juga minta saus yang tidak merah). Dalam daftar menu tampak nasi ayam hainan, aneka sapo, mapo tahu, sop hiwan hipio, dan macam-macam lagi. Di pintu masuk tampak tangki penuh belut hidup, gurami hidup, dan bullfrog (katak lembu) hidup.
Pernah makan ayam penyet? Ayam goreng dipenyet di kaki lemari beberapa hari supaya gepeng. Ah, pastilah bukan begitu cara membuatnya! Pertama, sambal dibuat secara individual di atas cobek dari tanah liat, lalu ayam goreng panas dipenyet di atas sambal itu, dihias dengan irisan timun dan daun kemangi. Tetapi, bukan hanya ayam goreng yang dipenyet di atas cobek itu. Bisa tempe goreng, empal, bakwan, bahkan ikan dorang goreng.
Beberapa minggu yang lalu di milis Jalansutra banyak anggota membicarakan Ayam Penyet "Bu Kris" yang punya gerai di Jalan Manyar Kertoarjo. Sukses "Bu Kris" kini membuatnya telah memiliki tiga gerai lain, yaitu di Taman Ruko Kayoon, Jalan Tenggilis Utara, dan Ruko Vila Bukit Mas. Sebetulnya ayam gorengnya biasa saja. Tetapi, sambalnya yang sedep dan tak terlalu pedas memang membuatnya terasa lain. Apa sih yang tak enak bila ditambah sambal? Di "Bu Kris" juga ada garang asem daging sapi maupun ayam, dan sop buntut. Semua gerainya tutup pada hari Minggu dan hari-hari besar Nasrani lainnya.
Elfi, "mata-mata" Jalansutra di Surabaya memberi tips tentang Depot Pojok "Tambakbayan" yang sebetulnya terletak di sudut Jalan Pasar Besar Wetan. Depot ini dimiliki oleh seorang Tionghoa asal Palembang, dan karena itu juga menjual pempek, hiwan kuah, dan pindang tulang muda. Tetapi, spesialisasi depot ini adalah nasi campur dan nasi kuning. Nasi campurnya terdiri atas nasi putih, kare daging sapi, semur ayam, semur sohun, tahu bumbu bali, dan ayam pindang.
Saya juga sempat mencicipi bakcang yang cukup enak di depot ini. Ada tiga jenis bakcang di sana. Yang isi ayam diikat dengan tali rafia hijau. Yang isi babi dan telor asin diikat dengan tali rafia merah. Yang diikat tali rafia kuning hanya berisi daging babi. Depot Pojok "Tambakbayan" ini sekarang juga punya cabang di dekat Makro Waru.
(Terima kasih juga untuk Elfi yang sudah "memaksa" ibunya memasak lontong capgomeh dan tim kikil yang sungguh lezat ketika saya berkunjung ke Surabaya belum lama ini).
Sebelum meninggalkan Surabaya, masih ingin membawa oleh-oleh lapciong (susis Surabaya) manis seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya? Sekarang saya tidak perlu lagi menunggu oleh-oleh dari William Wongso. Seorang "mata-mata" Jalansutra lainnya di Surabaya berhasil menemukan penjual susis itu, yaitu "Warung Kuning" (Tempo Doeloe) di sudut Jalan Pasar Besar Wetan, persis di sebelah Depot Pojok "Tambakbayan". "Warung Kuning" juga menjadi pesaing di sudut jalan itu dalam hal nasi campur.
Oleh-oleh khas Surabaya lainnya tersedia di Pasar Genteng – dan tentu juga di Bandara Juanda – yaitu krupuk udang, krupuk keju, petis, terasi, emping, lurjuk, dan berbagai makanan kering lainnya.http://www.kompas.co.id/utama/news/0311/20/131217.htm

Tidak ada komentar: